Minggu, 31 Maret 2013

Syeikh Tubagus Ahmad Bakri (Mama Sempur Plered - Purwakarta), Ahli Tasawuf Sejati


Syeikh Tubagus Ahmad Bakri adalah seorang ulama yang sangat berpengaruh di daerah Purwakarta, Jawa Barat. Bahkan hampir bisa dipastikan bahwa karena jasa beliau lah sejumlah pesantren berdiri di daerah tersebut. Tidak hanya itu, di kalangan masyarakat Jawa Barat, nama Ahmad Bakri (Mama Sempur Plered) sangat terkenal sebagai guru tarekat tertinggi dalam ajaran tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah.
Ayahnya, Tubagus Sayidah, adalah pemimpin Pesantren Salafiyah Sempur. Di samping sebagai ulama, ayahnya juga dikenal sebagai pejuang yang gigih melawan pemerintah kolonial. Layaknya keturunan kyai, pendidikan awal Ahmad Bakri diperolehnya dari ayahnya. Melalui ayahnya, ia mengenal cara membaca al-Qur’an dan ilmu dasar keislaman. Setelah merasa cukup mendidiknya, ayahnya kemudian mengirim Ahmad Bakri ke Mekah. Pada waktu itu, tradisi belajar ke Timur Tengah sangat lazim di kalangan kyai tradisional. Di Mekah ia belajar tafsir kepada Sayyid Ahmad Dahlan, salah seorang ulama besar yang mengajarkan Islam Madzhab Syafi’i. Di sana beliau juga belajar pada ulama Nusantara yang menetap di Mekah, yaitu Syekh Nawawi Banten dan Syekh Mahfudz Termas. Khususnya kepada Syekh Nawawi Banten, Ahmad Bakri belajar fikih. Demikanlah KH Bakri mendalami pengetahuan agamanya dengan berguru kepada dua ulama Nusantara yang begitu terkenal. Dalam keyakinan pelajar jawa bahwa mereka akan dianggap menyempurnakan pelajaran apabila mendapat bimbingan terakhir dari ulama kenamaan kelahiran Jawa.
Setelah pulang ke tanah air, Kyai Ahmad Bakri mendirikan sebuah pesantren di Desa Sempur, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta, Pesantren ini dinilai sebagai pesantren tertua di daerah tersebut. Demikianlah untuk selanjutnya ia mengelola pondok pesantren dan menjadi guru penyebar Tarekat Naqsabandiyah di daerah tersebut.
Pemikiran Syeikh Tubagus Ahmad Bakri
Untuk mengungkap pemikirannya, kita dapat melacak sejumlah catatan kecil yang ditulisnya, ceramah-ceramah serta kandungan kitab yang ditulisnya.
Dalam Cempaka Dilaga, misalnya,  Kyai Ahmad Bakri menjelaskan beberapa prinsip hidup yang harus dilakoni oleh umat Islam. Yaitu keharusan berbuat baik terhadap tetangga agar kita dapat hidup di dunia dengan aman, terutama aman dalam ibadah dan mengabdi kepada Allah Swt. Di bagian lain kitab ini, beliau berpendapat bahwa seorang muslim hendaknya patuh dan menaati pemerintah — bahkan terhadap pemerintah yang zalim sekalipun selama pemerintah tidak memerintahkan rakyatnya untuk menyalahi perintah Allah atau melarang untuk berbakti kepada Allah Swt.

Selain itu, Ahmad Bakri menjelaskan bahwa dalam mengambil seorang muslim hendaknya pada prinsip-prinsip Ushul Fikih. Misalnya ketika seseorang dihadapkan pada dua pilihan yang tidak dapat dihindari, maka menurutnya orang tersebut hendaknya memilih perbuatan yang paling sedikit mudaratnya (akhaf al-dlaruryn). Ia juga menganjurkan agar seseorang mendahulukan untuk menolak mafsadat daripada melakukan pekerjaan yang mendatangkan manfaat. Menurutnya, menghindari mafsadah lebih utama ketimbang mencari manfaat.
Kyai Ahmad Bakri juga memperbincangkan perilaku manusia yang sangat mendasar, yaitu makan. Menurutnya, makan merupakan kewajiban, dan oleh karenanya makan termasuk bagian dari ajaran Agama Islam. Karena makan merupakan salah sendi yang dapat menguatkan manusia dalam melaksanakan ibadah kepada Allah Swt. dan melakukan perintah-perintah-Nya. Lebih lanjut Kyai Ahmad Bakri menjelaskan bahwa seseorang sejatinya mengetahui etika makan. Dengan demikian, seseorang dapat mencapai manfaat makan sehingga makan dapat dinilai sebagai ibadah.
Ahmad Bakri termasuk ulama yang tidak sepakat dengan ajaran Wahabi yang berkembang di Mekah. Bahkan beliau menilai bahwa Muhammad Abdul Wahab (pendiri Wahabi) adalah musuh Rasulullah Saw. Ketidaksepakatan terhadap ajaran tersebut dituangkannya dalarn sebuah bukunya yang berjudul Idhah al-Kardtiniyah fi Ma Yata’allaqu bi Dhalat al-Wahabiyah.
Selain itu, Ahmad Bakri juga menyinggung persoalan pendidikan. Sebagaimana diketahui, beliau hidup pada masa peperangan dan pada saat itu banyak orang yang ikut berperang melawan penjajah. Disinilah beliau menangkap realitas dimana pendidikan begitu terabaikan. Menyikapi kenyataan ini, beliau menyatakan perlunya sebagian orang untuk tetap memperhatikan pendidikan dan tidak ikut berperang. Meskipun Ahmad Bakri tidak terlibat langsung dalam kancah politik, namun pandangan-pandangan dan pilihan politiknya diikuti oleh masyarakat setempat. Beliau bukanlah tipe propagandis yang kerap memaksakan pendapatnya kepada orang lain. Alih-alih memaksakan keinginannya, malah beliau memberikan kebebasan kepada para santrinya untuk menentukan sikap politiknya.
Demikianlah gambaran singkat tentang sosok yang relatif moderat dalam menyikapi persoalan. Hanyalah sosok yang matang secara intelektual dan emosional-lah yang mampu menampilkan sikap moderat. Dan Kyai Tubagus Ahmad Bakri lah yang memiliki kematangan intelektual dan emosional sekaligus. Beliau meninggal pada malam Senin, 1 Desember 1975 M bertepatan dengan tanggal 27 Dzulqa’dah 1395 H.

Sumber:

1 komentar: