Selasa, 02 April 2013

Imam Syafi’i, Ahli Fiqih yang Cerdas!



Imam Syafi’i bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Idris As-Syafi’i, lahir di Gaza, Palestina pada tahun 150 Hijriah (767-820 M), berasal dari keturunan bangsawan Qurays dan masih keluarga jauh Rasulullah saw. dari ayahnya. Garis keturunannya bertemu di Abdul Manaf (kakek ketiga rasulullah) dan dari ibunya masih merupakan cicit Ali bin Abi Thalib r.a. Semasa dalam kandungan, kedua orang tuanya meninggalkan Mekkah menuju palestina, setibanya di Gaza, ayahnya jatuh sakit dan berpulang ke rahmatullah, kemudian beliau diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi yang sangat prihatin dan serba kekurangan. Pada usia 2 tahun, ia bersama ibunya kembali ke mekkah dan di kota inilah Imam Syafi’i mendapat pengasuhan dari ibu dan keluarganya secara lebih intensif.
Saat berusia 9 tahun, beliau telah menghafal seluruh ayat Al Quran dengan lancar bahkan beliau sempat 16 kali khatam Al Quran dalam perjalanannya dari Mekkah menuju Madinah. Setahun kemudian, kitab Al Muwatha’ karangan imam malik yang berisikan 1.720 hadits pilihan juga dihafalnya di luar kepala. Imam Syafi’i juga menekuni bahasa dan sastra Arab di dusun badui bani hundail selama beberapa tahun, kemudian beliau kembali ke Mekkah dan belajar fiqih dari seorang ulama besar yang juga mufti kota Mekkah pada saat itu yaitu Imam Muslim bin Khalid Azzanni. Kecerdasannya inilah yang membuat dirinya dalam usia yang sangat muda (15 tahun) telah duduk di kursi mufti kota Mekkah. Namun demikian Imam Syafi’i belum merasa puas menuntut ilmu karena semakin dalam beliau menekuni suatu ilmu, semakin banyak yang belum beliau mengerti, sehingga tidak mengherankan bila guru Imam Syafi’i begitu banyak jumlahnya sama dengan banyaknya para muridnya.
Meskipun Imam Syafi’i menguasai hampir seluruh disiplin ilmu, namun beliau lebih dikenal sebagai ahli hadits dan hukum karena inti pemikirannya terfokus pada dua cabang ilmu tersebut. Pembelaannya yang besar terhadap sunnah Nabi sehingga beliau digelari Nasuru Sunnah (Pembela Sunnah Nabi). Dalam pandangannya, sunnah Nabi mempunyai kedudukan yang sangat tinggi, malah beberapa kalangan menyebutkan bahwa Imam Syafi’i menyetarakan kedudukan sunnah dengan Al Quran dalam kaitannya sebagai sumber hukum islam, karena itu, menurut beliau setiap hukum yang ditetapkan oleh rasulullah pada hakekatnya merupakan hasil pemahaman yang diperoleh Nabi dari pemahamannya terhadap Al Quran. Selain kedua sumber tersebut (Al Quran dan Hadis), dalam mengambil suatu ketetapan hukum, Imam Syafi’i juga menggunakan Ijma’, Qiyas, dan istidlal (penalaran) sebagai dasar hukum Islam.
Berkaitan dengan bid’ah, Imam Syafi’i berpendapat bahwa bid’ah itu terbagi menjadi dua macam, yaitu bid’ah hasanah (terpuji) dan bid’ah dholalah (sesat). Bid’ah hasanah yaitu jika bid’ah tersebut selaras dengan prinsip-prinsip Al Quran dan Sunnah, sedangkan bid’ah dholalah yaitu jika bid’ah tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip Al Quran dan Sunnah. Dalam soal taklid, beliau selalu memberikan perhatian kepada murid-muridnya agar tidak menerima begitu saja pendapat pendapat dan hasil ijtihadnya, beliau tidak senang murid muridnya bertaklid buta pada pendapat dan ijtihadnya, sebaliknya malah menyuruh untuk bersikap kritis dan berhati hati dalam menerima suatu pendapat, sebagaimana ungkapan beliau: ”Inilah ijtihadku, apabila kalian menemukan ijtihad lain yang lebih baik dari ijtihadku maka ikutilah ijtihad tersebut“.

Diantara karya karya Imam Syafi’i yaitu Ar-Risalah, Al-Hujjah, dan Al-Umm.
Ar-Risalah
Ar risalah merupakan buku pertama beliau tentang ushul fiqh. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Imam Ahmad berkata tentang Imam Syafi’i,”Beliau adalah orang yang paling faqih dalam Al Quran dan As Sunnah,” “Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta (ilmu) melainkan Allah memberinya di ‘leher’ Syafi’i”. Thasy Kubri mengatakan di Miftahus sa’adah,”Ulama ahli fiqh, ushul, hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki sifat amanah (dipercaya), ‘adaalah (kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’, takwa, dermawan, tingkah lakunya yang baik, derajatnya yang tinggi. Orang yang banyak menyebutkan perjalanan hidupnya saja masih kurang lengkap”.
Al-Hujjah
Al Hujjah merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al Karabisyi dari Imam Syafi’i.
Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka ia (hadits) adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok,”
Al-Umm
Al Umm merupakan madzhab yang baru Imam Syafi’i diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir: Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman.

Mazhab Syafi'i
Madzhab Syafi’I adalah sebuah madzhab Ahlussunah Wal-jama’ah yang berlandaskan Al Quran, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Beliau juga tidak mengambil Istihsan (menganggap baik suatu masalah) sebagai dasar madzhabnya dan menolak maslahah mursalah. Imam Syafi’i mengatakan, ”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan syariat”. Penduduk Baghdad mengatakan bahwa Imam Syafi’i adalah nashirussunnah (pembela sunnah). Madzhab ini banyak dianut oleh mayoritas penduduk di Asia Tenggara.

2 komentar: