Sabtu, 24 Mei 2014

Puisi Taufiq Ismail: Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1998)





Taufiq Ismail gelar Datuk Panji Alam Khalifatullah, (lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1935, ialah seorang penyair dan sastrawan Indonesia. Berikut ini adalah karya beliau dalam bentuk puisi yang berjudul “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1998)”.

Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda

Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku busung jadi anak Indonesia


Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
Dan mendapat Ph.D. dari Rice University
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini

Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia

Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi
berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek
secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,

Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi
lebih separuh masuk kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,
agar orangtua mereka bersenang hati,

Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum
sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas
penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang opininya bersilang tak habis
dan tak utus dilarang-larang,

Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata
supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,
sekarang saja sementara mereka kalah,
kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka
oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,

Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia
dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,
kabarnya dengan sepotong SK
suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi,
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,
lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,

Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat
jadi pertunjukan teror penonton antarkota cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita
tak pernah bersedia menerima skor pertandingan
yang disetujui bersama,
Di negeriku rupanya sudah diputuskan
kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa,
lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil
karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta,
sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,

Di negeriku ada pembunuhan, penculikan
dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh,
Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,
Nipah, Santa Cruz dan Irian,
ada pula pembantahan terang-terangan
yang merupakan dusta terang-terangan
di bawah cahaya surya terang-terangan,
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi terang-terangan,

Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,
tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang
menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak

Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.

1998


Mari kita cermatai penggalan beberapa bagian dari puisi ini:
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi
berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek
secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,

Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi
lebih separuh masuk kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,
agar orangtua mereka bersenang hati,”

Dalam penggalan puisi di atas menunjukkan bahwa di republik tercinta ini kekuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih sangat kuat. Beliau menyampaikannya pada tahun 1998, namun sampai saat ini pun kita masih merasakan pesona KKN yang sangat kuat, ditambah bisokrasi yang sangat rumit. 16 tahun pasca reformasi nampaknya pemerintah kita ini masih belum serius berbenah masalah ini. Apa solusi konkret yang dapat dilakukan untuk meminimalisir, bahkan memusnahkan budaya kita yang jelek ini?

Kemudian dalam penggalan berikutnya:
“Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,
lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,”

Dalam penggalan puisi di atas menceritakan bahwa pada zamannya (1998), rakyat kecil masih belum merasakan adanya keamanan, fitnah beredar dimana-mana, dan semacamnya. Sampai saat ini pun saya rasa hal tersebut masih terjadi. Polisi dan TNI yang secara implisit memiliki tugas terkait “keamanan”, justru malah membuat masyarakat negeri ini resah. Lalu harus bagaimana?

Dalam penggalan berikutnya:
“Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,
tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang
menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak”

Penggalan puisi di atas menyebutkan bahwa masyarakat kita ini masih memiliki etika yang kurang baik. Nagkunya saja berpegang teguh pada kitabnya, tapi sikap yang ditunjukkan justru sangat bertolak belakang dengan apa yang didengungkan dalam alkitab. Masyarakat kita masih kerap kali membuang sampah sembarangan, merokok tidak pada tempatnya, melanggar ketertiban lalu lintas, melanggar hokum, bahkan sekelas menteri-menteri pun tak tahu malu sampai-sampai berani menggondol uang haji umat. Sungguh ngeri sekali hidup di negeri ini. Apa yang harus kita lakukan?

Saya rasa, untuk menyelesaikan permaslahan-permasalahan ini kita harus memilih turun tangan untuk mengambil alih tanggung jawab atas permasalahan yang ada. Memberikan kritik ataupun hujatan tidaklah cukup, karena hal tersebut tidak akan menyelesaikan masalah. Kita sebagai warga negara yang baik, terutama untuk kaum intelektual seperti mahasiswa, sudah seyogyanya memiliki kesadaran untuk menjaga agar permasalahan ini tidak terulang kembali. Tak usah terlalu menyombong mengagung-agungkan Al-Quran/Al-Kitab, tapi kita harus tunjukkan tindakan baik untuk membangun bersama bangsa ini. Mari kita sama-sama ikut campur mengambil alih tanggung jawab atas permaslahan yang terjadi. Yang sudah terjadi, ya sudahlah tidak usah dibesar-besarkan. Yang pasti kita harus memiliki niat untuk tak mengulangi hal serupa dan tetap optimis memperbaiki masa depan bangsa ini.
Menjelang pemilihan presiden 2014 ini, sebagai tindakan nyata dalam mengatasi permasalahan yang ada, mari kita pahamkan masyarakat agar memilih pemimpin yang kiranya dapat memperbaiki kondisi republik ini. Kita (mahasiswa) sampaikan solusi-solusi yang ditawarkan para calon pemegang kekuasaan pada masyarakat, lalu lakukan analisis bersama untuk memilah solusi yang paling tepat dijalankan pada kondisi saat ini. Tak usah menjelek-jelekan sang calon dengan berbagai macam track-recordnya yang jelek, tapi lihat visinya ke depan akan membawa bangsa ini kemana. Setelah itu, mari kita sama-sama gerakkan masyarakat agar berani optimis memperbaiki keadaan yang harus diperbaiki.
Ingat! Urun angan tak akan menyelesaikan masalah, namun dengan turun tangan mengambil alih tanggung jawab untuk perbaikan bisa dijadikan usaha nyata kita dalam memperbaiki keadaan.

Tulisan ini saya apresiasikan untuk memberi pandangan terhadap kondisi yang saat ini terjadi menjelang pilpres 2014. Pendukung Jokowi banyak menjelek-jelekan Prabowo, sebaliknya pendukung Prabowo banyak menjelek-jelekan jokowi melalui “Black Campaign” nya. Itu memang sah-sah saja, tapi saya rasa hal tersebut tak akan memperbaiki keadaan. Selain itu, saya juga dedikasikan tulisan ini untuk hebatnya gerakan #TurunTangan yang diinisiasi oleh Anies Baswedan. Melalui gerakan ini, saya pribadi jadi lebih memiliki wawasan luas dan pentingnya turun tangan untuk mengambil alih tanggung jawab atas permasalahan yang ada. Mari kita selesaikan bersama dengan semangat kemerdekaan, tataplah masa depan bangsa dengan optimis, perbaiki kondisi negeri, dan yakin bahwa negeri ini akan mampu bersaing dengan negara tetangga. Kita pasti mampu lebih hebat!

Ramli Yana
Bandung, 24 Mei 2014.

1 komentar: