Taufiq Ismail gelar Datuk Panji Alam Khalifatullah, (lahir di
Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1935, ialah seorang penyair dan sastrawan Indonesia.
Berikut ini adalah karya beliau dalam bentuk puisi yang berjudul “Malu (Aku) Jadi
Orang Indonesia (1998)”.
Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku busung jadi anak Indonesia
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
Dan mendapat Ph.D. dari Rice University
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi
berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek
secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi
lebih separuh masuk kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,
agar orangtua mereka bersenang hati,
Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum
sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas
penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang opininya bersilang tak habis
dan tak utus dilarang-larang,
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata
supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,
sekarang saja sementara mereka kalah,
kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka
oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia
dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,
kabarnya dengan sepotong SK
suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi,
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,
lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat
jadi pertunjukan teror penonton antarkota cuma karena sebagian
sangat kecil bangsa kita
tak pernah bersedia menerima skor pertandingan
yang disetujui bersama,
Di negeriku rupanya sudah diputuskan
kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa,
lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil
karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta,
sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan
dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh,
Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,
Nipah, Santa Cruz dan Irian,
ada pula pembantahan terang-terangan
yang merupakan dusta terang-terangan
di bawah cahaya surya terang-terangan,
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,
tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang
menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
1998
…
Mari kita cermatai penggalan beberapa
bagian dari puisi ini:
“Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya
di dunia nomor satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi
berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek
secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi
lebih separuh masuk kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,
agar orangtua mereka bersenang hati,”
Dalam penggalan puisi di atas menunjukkan bahwa di republik
tercinta ini kekuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih sangat kuat. Beliau
menyampaikannya pada tahun 1998, namun sampai saat ini pun kita masih merasakan
pesona KKN yang sangat kuat, ditambah bisokrasi yang sangat rumit. 16 tahun
pasca reformasi nampaknya pemerintah kita ini masih belum serius berbenah
masalah ini. Apa solusi konkret yang dapat dilakukan untuk meminimalisir,
bahkan memusnahkan budaya kita yang jelek ini?
Kemudian dalam penggalan berikutnya:
“Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,
lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,”
Dalam penggalan puisi di atas
menceritakan bahwa pada zamannya (1998), rakyat kecil masih belum merasakan
adanya keamanan, fitnah beredar dimana-mana, dan semacamnya. Sampai saat ini
pun saya rasa hal tersebut masih terjadi. Polisi dan TNI yang secara implisit
memiliki tugas terkait “keamanan”, justru malah membuat masyarakat negeri ini
resah. Lalu harus bagaimana?
Dalam penggalan berikutnya:
“Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,
tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang
menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak”
Penggalan puisi di atas menyebutkan bahwa
masyarakat kita ini masih memiliki etika yang kurang baik. Nagkunya saja
berpegang teguh pada kitabnya, tapi sikap yang ditunjukkan justru sangat
bertolak belakang dengan apa yang didengungkan dalam alkitab. Masyarakat kita
masih kerap kali membuang sampah sembarangan, merokok tidak pada tempatnya,
melanggar ketertiban lalu lintas, melanggar hokum, bahkan sekelas
menteri-menteri pun tak tahu malu sampai-sampai berani menggondol uang haji
umat. Sungguh ngeri sekali hidup di negeri ini. Apa yang harus kita lakukan?
Saya rasa, untuk menyelesaikan
permaslahan-permasalahan ini kita harus memilih turun tangan untuk mengambil
alih tanggung jawab atas permasalahan yang ada. Memberikan kritik ataupun
hujatan tidaklah cukup, karena hal tersebut tidak akan menyelesaikan masalah. Kita
sebagai warga negara yang baik, terutama untuk kaum intelektual seperti
mahasiswa, sudah seyogyanya memiliki kesadaran untuk menjaga agar permasalahan
ini tidak terulang kembali. Tak usah terlalu menyombong mengagung-agungkan
Al-Quran/Al-Kitab, tapi kita harus tunjukkan tindakan baik untuk membangun
bersama bangsa ini. Mari kita sama-sama ikut campur mengambil alih tanggung
jawab atas permaslahan yang terjadi. Yang sudah terjadi, ya sudahlah tidak usah
dibesar-besarkan. Yang pasti kita harus memiliki niat untuk tak mengulangi hal
serupa dan tetap optimis memperbaiki masa depan bangsa ini.
Menjelang pemilihan presiden 2014 ini,
sebagai tindakan nyata dalam mengatasi permasalahan yang ada, mari kita
pahamkan masyarakat agar memilih pemimpin yang kiranya dapat memperbaiki
kondisi republik ini. Kita (mahasiswa) sampaikan solusi-solusi yang ditawarkan
para calon pemegang kekuasaan pada masyarakat, lalu lakukan analisis bersama
untuk memilah solusi yang paling tepat dijalankan pada kondisi saat ini. Tak usah
menjelek-jelekan sang calon dengan berbagai macam track-recordnya yang jelek,
tapi lihat visinya ke depan akan membawa bangsa ini kemana. Setelah itu, mari
kita sama-sama gerakkan masyarakat agar berani optimis memperbaiki keadaan yang
harus diperbaiki.
Ingat! Urun angan tak akan menyelesaikan
masalah, namun dengan turun tangan mengambil alih tanggung jawab untuk
perbaikan bisa dijadikan usaha nyata kita dalam memperbaiki keadaan.
Tulisan ini saya apresiasikan untuk
memberi pandangan terhadap kondisi yang saat ini terjadi menjelang pilpres
2014. Pendukung Jokowi banyak menjelek-jelekan Prabowo, sebaliknya pendukung
Prabowo banyak menjelek-jelekan jokowi melalui “Black Campaign” nya. Itu memang
sah-sah saja, tapi saya rasa hal tersebut tak akan memperbaiki keadaan. Selain itu,
saya juga dedikasikan tulisan ini untuk hebatnya gerakan #TurunTangan yang
diinisiasi oleh Anies Baswedan. Melalui gerakan ini, saya pribadi jadi lebih
memiliki wawasan luas dan pentingnya turun tangan untuk mengambil alih tanggung
jawab atas permasalahan yang ada. Mari kita selesaikan bersama dengan semangat
kemerdekaan, tataplah masa depan bangsa dengan optimis, perbaiki kondisi
negeri, dan yakin bahwa negeri ini akan mampu bersaing dengan negara tetangga. Kita
pasti mampu lebih hebat!
Ramli Yana
Bandung, 24 Mei 2014.
Malu aku jadi orang indonesia...
BalasHapus