Teks Pidato Mantan Presiden RI BJ Habibie Dahsyat Berisi
Analisa Nilai-nilai Pancasila. Mantan Presiden BJ Habibie mengungkapan secara
tepat analisanya mengenai penyebab nilai-nilai Pancasila yang seolah-olah
diabaikan pasca era reformasi. Tak heran bila isi pidato BJ Habibie yang
disampaikannya secara berapi-api itu memukau para hadirin puncak peringatan
Hari Lahir Pancasila.
Acara itu dihadiri oleh Presiden Kelima Megawati dan Presiden SBY.
Mereka berpidato bergiliran. Berikut ini isi teks pidato lengkap Habibie yang
disampaikan dalam acara yang digelar di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu
(1/6/2011).
Assalamu ‘alaikum wr wb, salam sejahtera untuk kita semua.
Hari ini tanggal 1 Juni 2011, enam puluh enam tahun lalu, tepatnya
1 Juni 1945, di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), Bung Karno menyampaikan pandangannya tentang fondasi dasar
Indonesia Merdeka yang beliau sebut dengan istilah Pancasila sebagai
philosofische grondslag (dasar filosofis) atau sebagai weltanschauung
(pandangan hidup) bagi Indonesia Merdeka.
Selama enam puluh enam tahun perjalanan bangsa, Pancasila telah
mengalami berbagai batu ujian dan dinamika sejarah sistem politik, sejak jaman
demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, era Orde Baru hingga demokrasi
multipartai di era reformasi saat ini. Di setiap jaman, Pancasila harus
melewati alur dialektika peradaban yang menguji ketangguhannya sebagai dasar
filosofis bangsa Indonesia yang terus berkembang dan tak pernah berhenti di satu
titik terminal sejarah.
Sejak 1998, kita memasuki era reformasi. Di satu sisi, kita
menyambut gembira munculnya fajar reformasi yang diikuti gelombang
demokratisasi di berbagai bidang. Namun bersamaan dengan kemajuan kehidupan
demokrasi tersebut, ada sebuah pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan
bersama: Di manakah Pancasila kini berada?
Pertanyaan ini penting dikemukakan karena sejak reformasi 1998,
Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi
relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang
dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan
dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun
kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di
tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan
demokrasi dan kebebasan berpolitik.
Mengapa hal itu terjadi? Mengapa seolah kita melupakan Pancasila?
Para hadirin yang berbahagia,
Ada sejumlah penjelasan, mengapa Pancasila seolah
"lenyap" dari kehidupan kita. Pertama, situasi dan lingkungan
kehidupan bangsa yang telah berubah baik di tingkat domestik, regional maupun
global. Situasi dan lingkungan kehidupan bangsa pada tahun 1945 -- 66 tahun
yang lalu -- telah mengalami perubahan yang amat nyata pada saat ini, dan akan
terus berubah pada masa yang akan datang. Beberapa perubahan yang kita alami
antara lain:
(1) terjadinya proses globalisasi dalam segala aspeknya;
(2) perkembangan gagasan hak asasi manusia (HAM) yang tidak
diimbagi dengan kewajiban asasi manusia (KAM);
(3) lonjakan pemanfaatan teknologi informasi oleh masyarakat, di
mana informasi menjadi kekuatan yang amat berpengaruh dalam berbagai aspek
kehidupan, tapi juga yang rentan terhadap "manipulasi" informasi
dengan segala dampaknya.
Ketiga perubahan tersebut telah mendorong terjadinya pergeseran
nilai yang dialami bangsa Indonesia, sebagaimana terlihat dalam pola hidup
masyarakat pada umumnya, termasuk dalam corak perilaku kehidupan politik dan
ekonomi yang terjadi saat ini. Dengan terjadinya perubahan tersebut diperlukan
reaktualisasi nilai-nilai pancasila agar dapat dijadikan acuan bagi bangsa
Indonesia dalam menjawab berbagai persoalan yang dihadapi saat ini dan yang
akan datang, baik persoalan yang datang dari dalam maupun dari luar.
Kebelum-berhasilan kita melakukan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila tersebut
menyebabkan keterasingan Pancasila dari kehidupan nyata bangsa Indonesia.
Kedua, terjadinya euphoria reformasi sebagai akibat dari
traumatisnya masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu yang
mengatasnamakan Pancasila. Semangat generasi reformasi untuk menanggalkan
segala hal yang dipahaminya sebagai bagian dari masa lalu dan menggantinya
dengan sesuatu yang baru, berimplikasi pada munculnya ‘amnesia nasional'
tentang pentingnya kehadiran Pancasila sebagai grundnorm (norma dasar) yang
mampu menjadi payung kebangsaan yang menaungi seluruh warga yang beragam suku
bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa, agama dan afiliasi politik. Memang,
secara formal Pancasila diakui sebagai dasar negara, tetapi tidak dijadikan
pilar dalam membangun bangsa yang penuh problematika saat ini.
Sebagai ilustrasi misalnya, penolakan terhadap segala hal yang
berhubungan dengan Orde Baru, menjadi penyebab mengapa Pancasila kini absen
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Harus diakui, di masa lalu memang
terjadi mistifikasi dan ideologisasi Pancasila secara sistematis, terstruktur
dan massif yang tidak jarang kemudian menjadi senjata ideologis untuk
mengelompokkan mereka yang tak sepaham dengan pemerintah sebagai "tidak
Pancasilais" atau "anti Pancasila" . Pancasila diposisikan
sebagai alat penguasa melalui monopoli pemaknaan dan penafsiran Pancasila yang
digunakan untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan. Akibatnya, ketika terjadi
pergantian rezim di era reformasi, muncullah demistifikasi dan dekonstruksi
Pancasila yang dianggapnya sebagai simbol, sebagai ikon dan instrumen politik
rezim sebelumnya. Pancasila ikut dipersalahkan karena dianggap menjadi ornamen
sistem politik yang represif dan bersifat monolitik sehingga membekas sebagai
trauma sejarah yang harus dilupakan.
Pengaitan Pancasila dengan sebuah rezim pemerintahan tententu,
menurut saya, merupakan kesalahan mendasar. Pancasila bukan milik sebuah era
atau ornamen kekuasaan pemerintahan pada masa tertentu. Pancasila juga bukan
representasi sekelompok orang, golongan atau orde tertentu. Pancasila adalah
dasar negara yang akan menjadi pilar penyangga bangunan arsitektural yang
bernama Indonesia. Sepanjang Indonesia masih ada, Pancasila akan menyertai
perjalanannya. Rezim pemerintahan akan berganti setiap waktu dan akan pergi
menjadi masa lalu, akan tetapi dasar negara akan tetap ada dan tak akan
menyertai kepergian sebuah era pemerintahan!
Para hadirin yang berbahagia,
Pada refleksi Pancasila 1 Juni 2011 saat ini, saya ingin
menggarisbawahi apa yang sudah dikemukakan banyak kalangan yakni perlunya kita
melakukan reaktualisasi, restorasi atau revitalisasi nilai-nilai Pancasila
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam rangka menghadapi
berbagai permasalahan bangsa masa kini dan masa datang. Problema kebangsaan
yang kita hadapi semakin kompleks, baik dalam skala nasional, regional maupun
global, memerlukan solusi yang tepat, terencana dan terarah dengan menjadikan
nilai-nilai Pancasila sebagai pemandu arah menuju hari esok Indonesia yang
lebih baik.
Oleh karena Pancasila tak terkait dengan sebuah era pemerintahan,
termasuk Orde Lama, Orde Baru dan orde manapun, maka Pancasila seharusnya terus
menerus diaktualisasikan dan menjadi jati diri bangsa yang akan mengilhami
setiap perilaku kebangsaan dan kenegaraan, dari waktu ke waktu. Tanpa
aktualisasi nilai-nilai dasar negara, kita akan kehilangan arah perjalanan
bangsa dalam memasuki era globalisasi di berbagai bidang yang kian kompleks dan
rumit.
Reformasi dan demokratisasi di segala bidang akan menemukan arah
yang tepat manakala kita menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam
praksis kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh toleransi di tengah
keberagaman bangsa yang majemuk ini. Reaktualisasi Pancasila semakin menemukan
relevansinya di tengah menguatnya paham radikalisme, fanatisme kelompok dan
kekerasan yang mengatasnamakan agama yang kembali marak beberapa waktu terakhir
ini. Saat infrastruktur demokrasi terus dikonsolidasikan, sikap intoleransi dan
kecenderungan mempergunakan kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan, apalagi
mengatasnamakan agama, menjadi kontraproduktif bagi perjalanan bangsa yang
multikultural ini. Fenomena fanatisme kelompok, penolakan terhadap kemajemukan
dan tindakan teror kekerasan tersebut menunjukkan bahwa obsesi membangun budaya
demokrasi yang beradab, etis dan eksotis serta menjunjung tinggi keberagaman
dan menghargai perbedaan masih jauh dari kenyataan.
Krisis ini terjadi karena luruhnya kesadaran akan keragaman dan
hilangnya ruang publik sebagai ajang negosiasi dan ruang pertukaran komunikasi
bersama atas dasar solidaritas warganegara. Demokrasi kemudian hanya menjadi
jalur antara bagi hadirnya pengukuhan egoisme kelompok dan partisipasi politik
atas nama pengedepanan politik komunal dan pengabaian terhadap hak-hak sipil
warganegara serta pelecehan terhadap supremasi hukum.
Dalam perspektif itulah, reaktualisasi Pancasila diperlukan untuk
memperkuat paham kebangsaan kita yang majemuk dan memberikan jawaban atas
sebuah pertanyaan akan dibawa ke mana biduk peradaban bangsa ini berlayar di
tengah lautan zaman yang penuh tantangan dan ketidakpastian? Untuk menjawab pertanyaan
itu, kita perlu menyegarkan kembali pemahaman kita terhadap Pancasila dan dalam
waktu yang bersamaan, kita melepaskan Pancasila dari stigma lama yang penuh
mistis bahwa Pancasila itu sakti, keramat dan sakral, yang justru membuatnya
teraleinasi dari keseharian hidup warga dalam berbangsa dan bernegara. Sebagai
sebuah tata nilai luhur (noble values), Pancasila perlu diaktualisasikan dalam
tataran praksis yang lebih ‘membumi' sehingga mudah diimplementasikan dalam
berbagai bidang kehidupan.
Para hadirin yang berbahagia,
Sebagai ilustrasi misalnya, kalau sila kelima Pancasila
mengamanatkan terpenuhinya "keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia", bagaimana implementasinya pada kehidupan ekonomi yang sudah
menggobal sekarang ini?
Kita tahu bahwa fenomena globalisasi mempunyai berbagai bentuk,
tergantung pada pandangan dan sikap suatu Negara dalam merespon fenomena
tersebut. Salah satu manifestasi globalisasi dalam bidang ekonomi, misalnya,
adalah pengalihan kekayaan alam suatu Negara ke Negara lain, yang setelah
diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian menjual produk-produk ke
Negara asal, sedemikian rupa sehingga rakyat harus "membeli jam
kerja" bangsa lain. Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru,
neo-colonialism, atau dalam pengertian sejarah kita, suatu "VOC (Verenigte
Oostindische Companie) dengan baju baru".
Implementasi sila ke-5 untuk menghadapi globalisasi dalam makna
neo-colnialism atau "VOC-baju baru" itu adalah bagaimana kita
memperhatikan dan memperjuangkan "jam kerja" bagi rakyat Indonesia
sendiri, dengan cara meningkatkan kesempatan kerja melalui berbagai kebijakan
dan strategi yang berorientasi pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat.
Sejalan dengan usaha meningkatkan "Neraca Jam Kerja" tersebut, kita
juga harus mampu meningkatkan "nilai tambah" berbagai produk kita
agar menjadi lebih tinggi dari "biaya tambah"; dengan ungkapan lain,
"value added" harus lebih besar dari "added cost". Hal itu
dapat dicapai dengan peningkatan produktivitas dan kualitas sumberdaya manusia dengan
mengembangkan, menerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam forum yang terhormat ini, saya mengajak kepada seluruh
lapisan masyarakat, khususnya para tokoh dan cendekiawan di kampus-kampus serta
di lembaga-lembaga kajian lain untuk secara serius merumuskan implementasi
nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam lima silanya dalam berbagai aspek
kehidupan bangsa dalam konteks masa kini dan masa depan. Yang juga tidak kalah
penting adalah peran para penyelenggara Negara dan pemerintahan untuk secara
cerdas dan konsekuen serta konsisten menjabarkan implementasi nilai-nilai
Pancasila tersebut dalam berbagai kebijakan yang dirumuskan dan program yang
dilaksanakan. Hanya dengan cara demikian sajalah, Pancasila sebagai dasar
Negara dan sebagai pandangan hidup akan dapat ‘diaktualisasikan' lagi dalam
kehidupan kita.
Memang, reaktualisasi Pancasila juga mencakup upaya yang serius
dari seluruh komponen bangsa untuk menjadikan Pancasila sebagai sebuah visi
yang menuntun perjalanan bangsa di masa datang sehingga memposisikan Pancasila
menjadi solusi atas berbagai macam persoalan bangsa. Melalui reaktualisasi
Pancasila, dasar negara itu akan ditempatkan dalam kesadaran baru, semangat
baru dan paradigma baru dalam dinamika perubahan sosial politik masyarakat Indonesia.
Para hadirin yang saya hormati,
Oleh karena itu saya menyambut gembira upaya Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akhir-akhir ini gencar menyosialisasikan
kembali empat pilar kebangsaan yang fundamental: Pancasila, UUD 1945, Bhineka
Tunggal Ika dan NKRI. Keempat pilar itu sebenarnya telah lama dipancangkan ke
dalam bumi pertiwi oleh para founding fathers kita di masa lalu. Akan tetapi,
karena jaman terus berubah yang kadang berdampak pada terjadinya diskotinuitas
memori sejarah, maka menyegarkan kembali empat pilar tersebut, sangat relevan
dengan problematika bangsa saat ini. Sejalan dengan itu, upaya penyegaran
kembali juga perlu dilengkapi dengan upaya mengaktualisasikan kembali
nilai-nilai yang terkandung dalam keempat pilar kebangsaan tersebut.
Marilah kita jadikan momentum untuk memperkuat empat pilar
kebangsaan itu melalui aktualisasi nilai-nilai Pancasila sebagai
weltanschauung, yang dapat menjadi fondasi, perekat sekaligus payung kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dengan membumikan nilai-nilai Pancasila dalam
keseharian kita, seperti nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan,
nilai permusyawaratan dan keadilan sosial, saya yakin bangsa ini akan dapat
meraih kejayaan di masa depan. Nilai-nilai itu harus diinternalisasikan dalam
sanubari bangsa sehingga Pancasila hidup dan berkembang di seluruh pelosok
nusantara.
Aktualisasi nilai-nilai Pancasila harus menjadi gerakan nasional
yang terencana dengan baik sehingga tidak menjadi slogan politik yang tidak ada
implementasinya. Saya yakin, meskipun kita berbeda suku, agama, adat istiadat
dan afiliasi politik, kalau kita mau bekerja keras kita akan menjadi bangsa
besar yang kuat dan maju di masa yang akan datang.
Melalui gerakan nasional reaktualisasi nilai-nilai Pancasila, bukan
saja akan menghidupkan kembali memori publik tentang dasar negaranya tetapi
juga akan menjadi inspirasi bagi para penyelenggara negara di tingkat pusat
sampai di daerah dalam menjalankan roda pemerintahan yang telah diamanahkan
rakyat melalui proses pemilihan langsung yang demokratis. Saya percaya,
demokratisasi yang saat ini sedang bergulir dan proses reformasi di berbagai
bidang yang sedang berlangsung akan lebih terarah manakala nilai-nilai Pancasila
diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Demikian yang bisa saya sampaikan. Terimakasih atas perhatiannya.
Wassalamu ‘alaikum wr wb.
Selamat Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 2014. Semoga kita sebagai warga negara yang baik bisa memahami makna pancasila serta mengaplikasikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar