Pada jaman kemajuan teknologi sekarang ini, sebagian besar manusia perilakunya
dipengaruhi oleh pesatnya perkembangan dan kecanggihan teknologi. Banyak orang
terbuai dengan teknologi yang canggih, sehingga melupakan aspek-aspek lain
dalam kehidupannya, seperti pentingnya membangun relasi dengan orang lain,
perlunya melakukan aktivitas sosial di dalam masyarakat, pentingnya menghargai
sesama lebih daripada apa yang berhasil dibuatnya, dan lain-lain.
Seringkali teknologi yang dibuat manusia untuk membantu manusia
tidak lagi dikuasai oleh manusia tetapi sebaliknya manusia yang terkuasai oleh
kemajuan teknologi. Manusia tidak lagi bebas menumbuhkembangkan dirinya menjadi
manusia seutuhnya dengan segala aspeknya. Keberadaan manusia pada zaman ini
seringkali diukur dari “to have” (apa saja materi yang dimilikinya) dan “to
do” (apa saja yang telah berhasil/tidak berhasil dilakukannya) daripada
keberadaan pribadi yang bersangkutan (“to be” atau “being” nya).
Dalam pendidikan perlu ditanamkan sejak dini bahwa keberadaan seorang pribadi,
jauh lebih penting dan tentu tidak persis sama dengan apa yang menjadi miliknya
dan apa yang telah dilakukannya. Sebab manusia tidak sekedar pemilik kekayaan
dan juga menjalankan suatu fungsi tertentu. Pendidikan yang humanis menekankan
pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih
manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang (menurut Ki
Hajar Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya
karsa (konatif)). Singkatnya, “educate the head, the heart, and the hand !”
Di tengah-tengah maraknya globalisasi komunikasi dan teknologi,
manusia makin bersikap individualis. Mereka “gandrung teknologi”, asyik dan
terpesona dengan penemuan-penemuan/barang-barang baru dalam bidang iptek yang
serba canggih, sehingga cenderung melupakan kesejahteraan dirinya sendiri
sebagai pribadi manusia dan semakin melupakan aspek sosialitas dirinya. Oleh
karena itu, pendidikan dan pembelajaran hendaknya diperbaiki sehingga memberi
keseimbangan pada aspek individualitas ke aspek sosialitas atau kehidupan
kebersamaan sebagai masyarakat manusia. Pendidikan dan pembelajaran hendaknya juga
dikembalikan kepada aspek-aspek kemanusiaan yang perlu ditumbuhkembangkan pada
diri peserta didik.
Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih
pada sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu
cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan
semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu
daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau
mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya
akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan
sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang
memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan
menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.
Dari titik pandang sosio-antropologis, kekhasan manusia yang
membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan
makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif untuk
menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan kebudayaannya.
Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda. Dalam masalah kebudayaan
berlaku pepatah:”Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.” Manusia
akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri.
Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti sebagai manusia itu sendiri
ditambah dengan budaya masyarakat yang melingkupinya.
Ki Hajar Dewantara sendiri
dengan mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan
pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan
yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang
mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara. Bagi
Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam
kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi
pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan
bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai
pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan,
baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu, nama Hajar
Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan,
keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki
kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial
kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan
manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang
merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita
juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan.
Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik
secara fisik, mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi
oleh tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti
keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi,
tanggungjawab dan disiplin. Sedangkan maksud pendirian Taman Siswa adalah
membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa
merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada
aspek-aspek nasional. Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan
universalistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang
merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual.
Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala
sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah
kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan
kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia
pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati,
empati, cinta kasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak
setiap individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta
didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual;
pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan
memisahkan dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap
individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap
dipertimbangkan; pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri,
mengembangkan hara diri; setiap orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya
rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para
peserta didiknya. Peserta didik yang dihasilkan adalah peserta didik yang
berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota
masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan
kesejahteraan orang lain. Metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini
adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan
pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Yang
dimaksud dengan manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara
utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan
menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara
pepatah ini sangat tepat yaitu “educate the head, the heart, and the hand”.
Guru yang efektif memiliki
keunggulan dalam mengajar (fasilitator); dalam hubungan (relasi dan komunikasi)
dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah; dan juga relasi dan
komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait);
segi administrasi sebagai guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu meliputi antara lain: keinginan untuk
memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman. Maka penting
pula membangun suatu etos kerja yang positif yaitu: menjunjung tinggi
pekerjaan; menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan keinginan untuk
melayani masyarakat. Dalam kaitan dengan ini penting juga
performance/penampilan seorang profesional: secara fisik, intelektual, relasi
sosial, kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator.
Singkatnya perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional, produktif
dan kolaboratif demi pemanusiaan secara utuh setiap peserta didik.
Akhirnya kita perlu menyadari bahwa tujuan pendidikan adalah
memanusiakan manusia muda. Pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi
yang lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh di masyarakatnya, yang
bertanggungjawab atas hidup sendiri dan orang lain, yang berwatak luhur dan
berkeahlian. Semoga kita sebagai generasi muda bangsa ini mampu melaksanakan
nilai-nilai luhur yang telah diungkapkan di atas. Insyaallah!
http://www.bruderfic.or.id/h-59/pemikiran-ki-hajar-dewantara-tentang-pendidikan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar