Jumat, 12 April 2013

Model Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL)


Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) dilandasi hasil penelitian John Dewey (1916) yang menyatakan bahwa kegiatan pembelajaran akan berlangsung dengan menyenangkan jika apa yang dipelajari siswa berhubungan dengan peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Pembelajaran  ini pertama kali dikembangkan di  Amerika Serikat yang diawali dengan dibentuknya Washington State Consortum for Contextual oleh Departemen Pendidikan Amerika Serikat. Antara 1997 s.d. 2001 sudah diselenggarakan 7 proyek besar yang bertujuan untuk mengembangkan, menguji, dan melihat efektifitas pembelajaran secara kontekstual. Proyek tersebut melibatkan 11 perguruan tinggi, dan 18 sekolah dengan mengikutsertakan 85 orang guru dan profesor serta 75 orang guru yang sudah diberikan pembekalan sebelumnya. Penyelenggaraan program ini berhasil dengan sangat baik untuk level perguruan tinggi sehingga hasilnya direkomendasikan  untuk  segera disebarluaskan pelaksanaannya. Untuk tingkat sekolah, pelaksanaan dari  program ini memperlihatkan suatu hasil yang signifikan, yaitu meningkatkan ketertarikan siswa untuk belajar dan meningkatkan  partisipasi aktif siswa secara keseluruhan.
Departemen Pendidikan Nasional (dalam Herdi, 2002: 5) mengemukakan perbedaan antara pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) dengan pembelajaran konvensional sebagai berikut:
CTL
Konvensional
Pemilihan informasi kebutuhan individu siswa
Pemilihan informasi ditentukan oleh guru
Mengintegrasikan  beberapa disiplin ilmu
Terfokus pada satu disiplin ilmu tertentu
Mengaitkan informasi dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa
Memberikan tumpukan informasi kepada siswa sampai pada saatnya diperlukan
Menerapkan penilaian otentik melalui melalui penerapan praktis dalam pemecahan masalah
Penilaian hasil belajar hanya melalui kegiatan akademik berupa ujian/ulang

Karakteristik Pendekatan Contextual Teaching Learning (CTL)
Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) melibatkan tujuh komponen  utama dari pembelajaran produktif, yaitu: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), pembelajaran masyarakat (Learning Community), pemodelan (Modelling), refleksi (Reflection) dan penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment) (Depdiknas, 2003:5).

1. Konstruktivisme (Constructivism)
Konstruktivisme menekankan siswa  untuk membentuk konsep atau ide baru dengan membuat  struktur  kognitif  atau pengalaman mental yang telah dialaminya (Ateec, 2000). Fungsi guru disini membantu membentuk konsep tersebut melalui metode penemuan, inquiri, dan lain sebagainya agar siswa berpartisipasi secara aktif dalam membentuk ide baru.
Menurut Piaget pendekatan konstruktivisme mengandung empat kegiatan inti, yaitu:
1) Mengandung pengalaman nyata (Experience)
2) Adanya interaksi sosial (Social interaction)
3) Terbentuknya kepekaan terhadap lingkungan (Sense making)
4) Lebih memperhatikan pengetahuan awal (Prior Knowledge)
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun siswa sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas.
Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap diambil atau diingat. SIswa harus mengkonstruksikan pengetahuan tersebut dan memberikan makna melalui pengalaman nyata. Oleh karenanya, pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi”, bukan menerima pengetahuan. Siswa memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti kotak-kotak yang masing-masing berisi informasi bermakna yang berbeda-beda. Setiap kotak itu akan diisi oleh pengalaman yang dimaknai berbeda-beda oleh setiap siswa. Setiap pengalaman baru akan dihubungkan dengan kotak yang  sudah berisi pengalaman lama sehingga dapat dikembangkan.

2. Bertanya (Questioning)
Questioning merupakan  strategi  utama  dalam  pembelajaran kontekstual. Kegiatan bertanya digunakan oleh guru untuk menstimulus kemampuan berpikir siswa agar siswa memaknai pentingnya belajar. Kegiatan bertanya dalam  pembelajaran berguna untuk:
1) Menggali informasi, baik administratif maupun akademis;
2) Mengecek pengetahuan awal siswa dan pemahaman siswa;
3) Membangkitkan respon kepada siswa;
4) Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa;
5) Memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru;
6) Membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa;
7) Menyegarkan kembali pengetahuan siswa.

3. Menemukan (Inquiry)
Inquiry merupakan  bagian  inti  dari  pembelajaran  berbasis CTL. Inkuiri merupakan proses pembelajaran yang didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Melalui proses berpikir yang sistematis, diharapkan  siswa  memiliki sikap ilmiah, rasional, dan logis untuk membentuk kreativitas. Inkuiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu:
1) Merumuskan masalah
2) Mengajukan hipotesis
3) Mengumpulkan data
4) Menguji hipotesis berdasarkan data yang ditemukan
5) Membuat kesimpulan

4. Pembelajaran Masyarakat (Learning Community)
Learning Community menekankan hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar tersebut diperoleh dari diskusi antar siswa. Setiap elemen masyarakat dapat juga berperan di sini dengan berbagi pengalaman.

5. Pemodelan (Modeling)
Modeling merupakan keterampilan mengoperasikan sesuatu. Peran  guru disini memberi model tentang “bagaimana cara belajar”. Pemodelan melibatkan guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran. Menurut Bandura dan Walters, pemodelan yang dapat diamati atau ditiru siswa digolongkan menjadi:
1) Kehidupan yang nyata (real life)
2) Simbolik (symbolic), model yang dipresentasikan secara lisan, tertulis atau dalam bentuk gambar
3) Representasi (representation), model yang dipresentasikan dengan menggunakan alat-alat audiovisual, misalnya televisi dan radio

6. Refleksi (Reflection)
Refleksi merupakan cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari. Siswa mengendapkan hal tersebut sebagai struktur pengetahuan yang baru. Struktur pengetahun yang baru ini merupakan revisi dari pengetahuan sebelumnya. Pada kegiatan pembelajaran, refleksi dilakukan oleh guru pada akhir pembelajaran.

7. Penilaian yang Sebenarnya (Authentic Assessment)
Penilaian otentik merupakan proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa agar guru dapat memastikan apakah siswa telah mengalami proses belajar yang benar. Karakteristik authentic assessment (Depdiknas (2003) dilaksanakan selama dan sesudah proses belajar berlangsung, bisa digunakan untuk tes formatif maupun tes sumatif, mengukur keterampilan dan sikap dalam belajar, berkesinambungan, terintegrasi, dan dapat digunakan sebagai feedback.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar