Surat kabar terkemuka di Inggris, The
Independent pada edisi 11 Maret 2006 sempat menurunkan sebuah artikel yang
sangat menarik bertajuk ”Bagaimana para inventor muslim mengubah dunia.”The
Independent" 20 penemuan penting para ilmuwan Muslim menyebut sekitar yang
mampu mengubah peradaban umat manusia, salah satunya adalah penciptaan kamera
obscura.
Kamera merupakan
salah satu penemuan penting yang dicapai umat manusia. Lewat jepretan dan
bidikan kamera, manusia bisa merekam dan mengabadikan beragam bentuk gambar
mulai dari sel manusia hingga galaksi di luar angkasa. Teknologi pembuatan
kamera, kini dikuasai peradaban Barat serta Jepang. Sehingga, banyak umat
Muslim yang meyakini kamera berasal dari peradaban Barat. Jauh sebelum
masyarakat barat menemukannya, prinsip-prinsip dasar pembuatan kamera telah
dicetuskan seorang sarjana Muslim sekitar 1.000 tahun silam. Peletak prinsip
kerja kamera itu adalah seorang saintis legendaris Muslim bernama Ibnu Al-Haitham.
Pada akhir abad ke-10 M, Al-Haitham berhasil menemukan sebuah kamera obscura.
Itulah salah satu karya Al-Haitham yang paling menumental. Penemuan yang sangat
inspiratif itu berhasil dilakukan Al-Haitham bersama Kamaluddin Al-Farisi.
Keduanya berhasil meneliti dan merekam fenomena kamera obscura. Penemuan itu
berawal ketika keduanya mempelajari gerhana matahari. Untuk mempelajari
fenomena gerhana, Al-Haitham membuat lubang kecil pada dinding yang memungkinkan
citra matahari semi nyata diproyeksikan melalui permukaan datar.
Kajian ilmu optik
berupa kamera obscura itulah yang mendasari kinerja kamera yang saat ini
digunakan umat manusia. Oleh kamus Webster, fenomena ini secara harfiah
diartikan sebagai ”ruang gelap”. Biasanya bentuknya berupa kertas kardus dengan
lubang kecil untuk masuknya cahaya. Teori yang dipecahkan Al-Haitham itu telah
mengilhami penemuan film yang kemudiannya disambung-sambung dan dimainkan
kepada para penonton.
“Kamera obscura
pertama kali dibuat ilmuwan Muslim, Abu Ali Al-Hasan Ibnu Al-Haitham, yang
lahir di Basra (965-1039 M),” ungkap Nicholas J Wade dan Stanley Finger dalam
karyanya berjudul The eye as an optical instrument: from camera obscura to
Helmholtz’s perspective. Dunia mengenal Al-Haitham sebagai perintis di
bidang optik yang terkenal lewat bukunya bertajuk Kitab Al-Manazir (Buku
optik). Untuk membuktikan teori-teori dalam bukunya itu, sang fisikawan Muslim
legendaris itu lalu menyusun Al-Bayt Al-Muzlim atau lebih dikenal dengan
sebutan kamera obscura atau kamar gelap. Bradley Steffens dalam karyanya
berjudul Ibn Al-Haytham: First Scientist mengungkapkan bahwa Kitab
al-Manazir merupakan buku pertama yang menjelaskan prinsip kerja kamera
obscura. “Dia merupakan ilmuwan pertama yang berhasil memproyeksikan seluruh
gambar dari luar rumah ke dalam gambar dengan kamera obscura,” papar Bradley.
Istilah kamera
obscura yang ditemukan Al-Haitham pun diperkenalkan di Barat sekitar abad ke-16
M. Lima abad setelah penemuan kamera obscura, Cardano Geronimo (1501-1576 M),
yang terpengaruh pemikiran Al-Haitham mulai mengganti lobang bidik lensa dengan
lensa (camera). Setelah itu, penggunaan lensa pada kamera onscura juga
dilakukan Giovanni Batista della Porta (1535-1615 M). Ada pula yang menyebutkan
bahwa istilah kamera obscura yang ditemukan Al-Haitham pertama kali
diperkenalkan di Barat oleh Joseph Kepler (1571–1630 M). Kepler meningkatkan
fungsi kamera itu dengan menggunakan lensa negatif di belakang lensa positif,
sehingga dapat memperbesar proyeksi gambar (prinsip digunakan dalam dunia lensa
foto jarak jauh modern).
Setelah itu, Robert
Boyle (1627-1691 M), mulai menyusun kamera yang berbentuk kecil, tanpa kabel,
jenisnya kotak kamera obscura pada 1665 M. Setelah 900 tahun dari penemuan Al-Haitham
pelat-pelat foto pertama kali digunakan secara permanen untuk menangkap gambar
yang dihasilkan oleh kamera obscura. Foto permanen pertama diambil oleh Joseph
Nicephore Niepce di Prancis pada 1827. Tahun 1855, Roger Fenton menggunakan
plat kaca negatif untuk mengambil gambar dari tentara Inggris selama Perang
Crimean. Dia mengembangkan plat-plat dalam perjalanan kamar gelapnya – yang
dikonversi gerbong. Tahun 1888, George Eastman mengembangkan prinsip kerja
kamera obscura ciptaan al-Hitham dengan baik sekali. Eastman menciptakan kamera
kodak. Sejak itulah, kamera terus berubah mengikuti perkembangan teknologi.
Sebuah versi kamera
obscura digunakan dalam Perang Dunia I untuk melihat pesawat terbang dan
pengukuran kinerja. Pada Perang Dunia II kamera obscura juga digunakan untuk
memeriksa keakuratan navigasi perangkat radio. Begitulah penciptaan kamera
obscura yang dicapai Al-Haitham mampu mengubah peradaban dunia. Peradaban dunia
modern tentu sangat berutang budi kepada ahli fisika Muslim yang lahir di Kota
Basrah, Irak. Al-Haitham selama hidupnya telah menulis lebih dari 200 karya
ilmiah. Semua didedikasikannya untuk kemajuan peradaban manusia. Sayangnya,
umat Muslim lebih terpesona pada pencapaian teknologi Barat, sehingga kurang menghargai
dan mengapresiasi pencapaian ilmuwan Muslim di era kejayaan Islam.
Sejarah Sang Penemu Kamera Obscura
Tahukah Anda, kata kamera yang digunakan saat
ini berasal dari bahasa Arab, yakni qamara? Istilah itu muncul berkat
kerja keras Al-Hatham. Bapak fisika modern itu terlahir dengan nama Abu Ali Al-Hasan
Ibnu Al-Hasan Ibnu Al-Haitham di Kota Basrah, Persia, saat Dinasti Buwaih dari
Persia menguasai Kekhalifahan Abbasiyah Sejak kecil Al-Haitham dikenal berotak encer.
Ia menempuh pendidikan pertamanya di tanah kelahirannya. Beranjak dewasa ia
merintis kariernya sebagai pegawai pemerintah di Basrah. Namun, Al-Haitham
lebih tertarik untuk menimba ilmu dari pada menjadi pegawai pemerintah. Setelah
itu, ia merantau ke Ahwaz dan metropolis intelektual dunia saat itu yakni kota
Baghdad. Di kedua kota itu ia menimba beragam ilmu. Ghirah keilmuannya yang
tinggi membawanya terdampar hingga ke Mesir. Al-Haitham pun sempat mengenyam
pendidikan di Universitas Al-Azhar yang didirikan Kekhalifahan Fatimiyah.
Setelah itu, secara otodidak, ia mempelajari hingga menguasai beragam disiplin
ilmu seperti ilmu falak, matematika, geometri, pengobatan, fisika, dan
filsafat. Secara serius dia mengkaji dan mempelajari seluk-beluk ilmu optik.
Beragam teori tentang ilmu optik telah dilahirkan dan dicetuskannya. Dialah
orang pertama yang menulis dan menemukan pelbagai data penting mengenai cahaya.
Konon, dia telah menulis tak kurang dari 200 judul buku.
Dalam salah satu
kitab yang ditulisnya, Alhazen – begitu dunia Barat menyebutnya – juga
menjelaskan tentang ragam cahaya yang muncul saat matahari terbenam. Ia pun
mencetuskan teori tentang berbagai macam fenomena fisik seperti bayangan,
gerhana, dan juga pelangi. Keberhasilan lainnya yang terbilang fenomenal adalah
kemampuannya menggambarkan indra penglihatan manusia secara detail. Tak heran,
jika ‘Bapak Optik’ dunia itu mampu memecahkan rekor sebagai orang pertama yang
menggambarkan seluruh detil bagian indra pengelihatan manusia. Hebatnya lagi,
ia mampu menjelaskan secara ilmiah proses bagaimana manusia bisa melihat.
Teori yang
dilahirkannya juga mampu mematahkan teori penglihatan yang diajukan dua ilmuwan
Yunani, Ptolemy dan Euclid. Kedua ilmuwan ini menyatakan bahwa manusia bisa
melihat karena ada cahaya keluar dari mata yang mengenai objek. Berbeda dengan
keduanya, Ibnu Haytham mengoreksi teori ini dengan menyatakan bahwa justru
objek yang dilihatlah yang mengeluarkan cahaya yang kemudian ditangkap mata
sehingga bisa terlihat.
Secara detail,
Al-Haitham pun menjelaskan sistem penglihatan mulai dari kinerja syaraf di otak
hingga kinerja mata itu sendiri. Ia juga menjelaskan secara detil bagian dan
fungsi mata seperti konjungtiva, iris, kornea, lensa, dan menjelaskan peranan
masing-masing terhadap penglihatan manusia. Hasil penelitian Al-Haitham itu
lalu dikembangkan Ibnu Firnas di Spanyol dengan membuat kaca mata.
Dalam buku lainnya
yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris berjudul Light On Twilight Phenomena,
Al-Haitham membahas mengenai senja dan lingkaran cahaya di sekitar bulan dan
matahari serta bayang-bayang dan gerhana. Menurut Al-Haitham, cahaya fajar
bermula apabila matahari berada di garis 19 derajat ufuk timur. Warna merah
pada senja akan hilang apabila matahari berada di garis 19 derajat ufuk barat.
Ia pun menghasilkan kedudukan cahaya seperti bias cahaya dan pembalikan cahaya.
Al-Haitham juga mencetuskan teori lensa pembesar. Teori itu digunakan para
saintis di Italia untuk menghasilkan kaca pembesar pertama di dunia. Sayangnya,
hanya sedikit yang terisa. Bahkan karya monumentalnya, Kitab al-Manazhir, tidak
diketahui lagi keberadaannya. Orang hanya bisa mempelajari terjemahannya yang
ditulis dalam bahasa Latin.
SUMBER: http://jiung-aca.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar