Berikut ini akan saya sampaikan tentang
penyikapan terhadap madzhab fikih yang saya kaji dari artikel yang dibuat oleh Izzudin
Karimi dan hasil wawancara terhadap salah satu dosen UPI (alumni Universitas Al-Azhar, Mesir) yang menguasai
tentang masalah keagamaan, Sindu Irwansyah, Lc. M.Ag.
Dewasa ini kaum
muslimin (khususnya di Indonesia) mengenal empat madzhab fikih yaitu madzhab
Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. 4 madzhab tersebut pada hari ini dianut
oleh mayoritas kaum muslimin di dunia dan 4 madzhab ini memiliki kitab-kitab
induk yang menjadi rujukan dan pegangan dalam bermadzhab. 4 madzhab ini
memiliki ulama-ulama yang berkhidmat mendekatkan dan menjelaskan madzhab kepada
masyarakat dan empat madzhab ini memiliki pengikut-pengikut dari kalangan kaum
muslimin.
Apa itu Madzhab Fikih?
Madzhab fikih adalah metode ijtihad dalam
masalah-masalah furu’ syari’at Islam yang bertujuan mendekatkan
hukum-hukumnya dan membuka jalan kepada hukum tersebut bagi kaum muslimin. Madzhab-madzhab
fikih ini lahir dan tumbuh sebagai madrasah fiqhiyah untuk merespon kebutuhan
kaum muslimin terhadap pengetahuan tentang hukum-hukum agama dan menyiapkan
hukum-hukum tersebut sebagai langkah antisipasi terhadap hadirnya masalah-masalah
baru dalam kehidupan.
Kebutuhan kepada
fikih ini selalu tegak di setiap waktu dan tempat untuk mengatur hubungan
ubudiyah seorang muslim dengan penciptanya dan demi menata hubungan-hubungan sosial
kemasyarakatan melalui pengetahuan seorang muslim terhadap hak dan kewajibannya.
Madzhab fikih ini berfungsi layaknya payung sebelum hujan, menjawab persoalan-persoalan
hidup yang terus berkembang dan melangkah maju tiada kenal henti dihadapan nash-nash
yang tidak bertambah.
Mengapa 4 Madzhab?
Pada abad kedua hijriyah sampai pertengahan
abad keempat yang merupakan masa emas ijtihad, dunia Islam melahirkan
mujtahid-mujtahid dalam jumlah besar, pendapat mereka diikuti dan
ijtihad-ijtihad mereka dibukukan, sebut saja Sufyan bin Uyainah di Makkah,
Malik bin Anas di Madinah, al-Hasan al-Bashri di Bashrah, Abu Hanifah dan
Sufyan ats-Tsauri di Kufah, al-Auza’i di Syam, asy-Syafi'i dan al-Laits bin
Saad di Mesir, Dawud azh-Zhahiri, Ibnu Jarir, Abu Tsaur dan Ahmad bin Hanbal di
Baghdad, Ishaq bin Rahawaih di Naisabur.
Setelah itu seleksi
alam berlaku, kebanyakan dari madzhab-madzhab ini hanya tersisa di dalam perut
buku-buku sementara para pengikutnya gugur satu demi satu tanpa tumbuh pengganti,
sehingga yang tersisa dari mereka adalah 4 madzhab ini. Salah satu sebab yang
membuat empat madzhab ini eksis berkibar di dunia fikih Islam karena para imam
dari empat madzhab ini memiliki murid-murid yang setia menulis hasil ijtihad
dan pemikiran imam-imam mereka dan seterusnya diwariskan kepada generasi
sesudahnya dan sampai kepada kita hingga saat ini. Berbeda dengan imam-imam
lain selain imam yang empat ini, hasil dari ijtihad mereka ini terserak di
sana-sini karena murid-murid mereka kurang memberi perhatian terhadapnya dengan
menulis dan membukukannya, padahal dari segi kapasitas ilmu dan kemampuan berijtihad,
para ulama selain imam yang 4 ini tidak lebih rendah dan tidak di bawah imam
yang 4, sebut saja al-Laits bin Saad, Imam asy-Syafi'i berkata tentangnya,
“alLaits lebih fakih daripada Malik hanya saja murid-muridnya tidak melayaninya”.
Wajibkah Mengikuti Salah Satu dari 4 Madzhab?
Ada pihak yang mewajibkan
setiap muslim mengikuti salah satu dari empat madzhab tanpa keluar darinya walaupun
hanya sejengkal, mengambil segala sesuatu yang ada di dalam madzhab tersebut tanpa
menawarnya, berpegang kepada rukhshah dan azimahnya,
sampai-sampai ada yang berkata, “Man qallada aliman laqiyallah saliman”
(barangsiapa bertaklid kepada seorang alim, dia bertemu Allah dalam keadaan
selamat). Tidak diragukan bahwa ini berarti mewajibkan tanpa dasar, karena pada
dasarnya seorang muslim hanya boleh bersikap demikian kepada Rasulullah saw.
Pihak lainnya
mengajak setiap muslim, baik ulama maupun orang jahil, baik penuntut ilmu maupun
orang awam agar mengambil dari al-Qur`an dan sunnah secara langsung tanpa perlu
menengok kepada para imam dan ulama ahli ijtihad, katanya, tidak perlu membaca
dan memperhatikan ucapan ulama fulan atau ulama hayyan, karena mereka mengambil
dari al-Qur`an dan sunnah dan kita pun mengambil dari al-Qur`an dan sunnah,
sampai-sampai ada yang mencomot ucapan Imam Abu Hanifah, “Fahum rijal wa
nahnu rijal” (mereka laki-laki dan kita pun laki-laki). Tidak diragukan,
walaupun memang pada dasarnya demikian yakni al-Qur`an dan sunnah, akan tetapi
untuk bisa ke sana memerlukan bekal ilmu yang memadahi dan tidak semua orang
memiliki, kalau semua orang hatta para juhala`dan orang-orang awam kita
wajibkan mengambil langsung dari al-Qur`an dan sunnah tanpa menoleh ucapan dan
bimbingan para ulama maka hasil yang akan dipetik adalah faudho (amburadul dan jumpalitan),
akan lahir ulama-ulama karbitan yang mengaku ulama padahal dia adalah orang paling
jahil.
Pada dasarnya
seorang muslim beragama kepada Allah dengan menimba dari al-Qur`an dan sunnah. Akan
tetapi di dalam al-Qur`an dan sunnah terdapat titik yang samar yang tidak diketahui
oleh orang sembarangan, ia memerlukan syarah dan penjelasan dan ini adalah peran
para ulama. Dari sini kita bisa tarik benang merah bahwa berpegang kepada
al-Qur`an dan sunnah tidak berarti menendang para ulama dan meminggirkan
mereka, kita tetap memerlukan bantuan para ulama demi memahami keduanya. Pada
saat yang sama kita menyadari bahwa tidak ada manusia setelah Rasulullah saw.
yang terbebas dari salah, siapa pun dia.
Bermadzhab ini telah
dilakukan oleh ulama-ulama besar. Sebut saja sebagai contoh Imam Nawawi yang bermadzhab
Syafi'i atau Ibnu Taimiyah yang bermadzhab Hanbali. Akan tetapi satu hal yang
perlu diperhatikan adalah jangan menjadikan bermadzhab sebagai tujuan akan
tetapi sebagai sarana, karena jika yang pertama maka Anda akan terjerumus ke dalam
kubangan ta’asshub di mana dalam pikiran Anda tertanam: “Apa pun yang
ada dalam madzhab saya adalah benar”, meskipun terbukti apa yang ada dalam
madzhab tersebut jelas-jelas bertentangan dengan dalil yang shahih. Kewajiban
seorang muslim adalah mengikuti Rasulullah saw. dan bermadzhab hanya sebagai
sarana memahami beliau. Oleh karena itu, bermadzhab haruslah dilakukan sebagai
bahan acuan kita dalam menjalani kehidupan menurut sendi-sendi kehidupan islam.
Tapi tidak harus fanatic atau hanya mengikuti satu madzhab saja. Perlu adanya
pengambilan sumber-sumber ilmu dari madzhab lain. Ketika kita tidak mengetahui
tentang sesuatu hal, maka disanalah peran madzhab yang kita anut ada. Jika perkara
yang kita hadapi banyak pendapat dari berbagai madzhab, disanalah kita perlu
mengambil pendapat yang paling baik dan shahih menurut panduan kita, alQuran
dan sunnah.
Mengapa 4 Madzhab Tidak Disatukan?
Pada jaman
Rasulullah saw. terdapat perbedaan yang terjadi dikalangan para sahabat terkait
perintah beliau agar tidak ada seorang pun dari mereka shalat Asar kecuali di
Bani Quraizhah. Sebagian sahabat melihat perintah ini apa adanya. Kata orang
yang tekstual, mereka shalat Asar di Bani Quraizhah walaupun waktu Asar telah habis.
Sebagian lain melihat secara kontekstual dan menerjemahkan maksud Rasul adalah
agar sahabat bersegera berangkat ke Bani Quraizhah dan pemahamannya ialah bahwa
sahabat shalat Asar di jalan sebelum tiba di Bani Quraizhah. Perbedaan ini
diakui dan diperbolehkan oleh Rasulullah saw.
Di samping itu tidak
semua dalil bersifat qath’iyyu tsubut dan qath’iyyu dalalah (tidak
membuka ruang perbedaan dalam memahaminya). Ada dalil yang bersifat zhanniyu
dalalah yang memberi ruang perbedaan dalam memahaminya ditambah dengan
kemampuan dan daya pikir dan nalar manusia yang berbeda-beda sehingga memberi
celah perbedaan dan pemahaman. Inilah yang terjadi pada sahabat seperti dalam
kasus di atas. Jadi, mustahil menyatukan empat madzhab menjadi satukarena
disana terdapat perbedaan pemikiran, penerjemahan, pemaknaan, dan pemahaman
Yang penting, selama perbedaan tersebut memungkinkan dan dimana dalilnya
memungkinkan untuk berbeda, maka hormati dan hargailah perbedaan tersebut. Sebaliknya
jika perbedaan tersebut jauh dari dalil, maka kemungkinan yang paling mendekati
benar harus diambil.
Wallahu A'lam Bish-shawab. Hanya Tuhan,
Allah Swt. yang maha benar…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar