Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL)
dilandasi hasil penelitian John Dewey (1916) yang menyatakan bahwa kegiatan
pembelajaran akan berlangsung dengan menyenangkan jika apa yang dipelajari siswa
berhubungan dengan peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Pembelajaran ini
pertama kali dikembangkan di Amerika Serikat yang diawali dengan dibentuknya
Washington State Consortum for Contextual oleh Departemen Pendidikan
Amerika Serikat. Antara 1997 s.d. 2001 sudah diselenggarakan 7 proyek besar
yang bertujuan untuk mengembangkan, menguji, dan melihat efektifitas pembelajaran
secara kontekstual. Proyek tersebut melibatkan 11 perguruan tinggi, dan 18
sekolah dengan mengikutsertakan 85 orang guru dan profesor serta 75 orang guru
yang sudah diberikan pembekalan sebelumnya. Penyelenggaraan program ini berhasil
dengan sangat baik untuk level perguruan tinggi sehingga hasilnya
direkomendasikan untuk segera disebarluaskan pelaksanaannya. Untuk
tingkat sekolah, pelaksanaan dari program ini memperlihatkan suatu hasil
yang signifikan, yaitu meningkatkan ketertarikan siswa untuk belajar dan
meningkatkan partisipasi aktif siswa secara keseluruhan.
Departemen
Pendidikan Nasional (dalam Herdi, 2002: 5) mengemukakan perbedaan antara
pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) dengan pembelajaran
konvensional sebagai berikut:
CTL
|
Konvensional
|
Pemilihan informasi kebutuhan individu siswa
|
Pemilihan informasi ditentukan oleh guru
|
Mengintegrasikan beberapa disiplin ilmu
|
Terfokus pada satu disiplin ilmu tertentu
|
Mengaitkan informasi dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki
siswa
|
Memberikan tumpukan informasi kepada siswa sampai pada saatnya
diperlukan
|
Menerapkan penilaian otentik melalui melalui penerapan praktis dalam
pemecahan masalah
|
Penilaian hasil belajar hanya melalui kegiatan akademik berupa
ujian/ulang
|
Karakteristik Pendekatan Contextual Teaching
Learning (CTL)
Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL)
melibatkan tujuh komponen utama dari pembelajaran produktif, yaitu: konstruktivisme
(Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry),
pembelajaran masyarakat (Learning Community), pemodelan (Modelling),
refleksi (Reflection) dan penilaian yang sebenarnya (Authentic
Assessment) (Depdiknas, 2003:5).
1. Konstruktivisme (Constructivism)
Konstruktivisme menekankan
siswa untuk membentuk konsep atau ide baru dengan membuat
struktur kognitif atau pengalaman mental yang telah dialaminya (Ateec,
2000). Fungsi guru disini membantu membentuk konsep tersebut melalui metode
penemuan, inquiri, dan lain sebagainya agar siswa berpartisipasi secara aktif
dalam membentuk ide baru.
Menurut Piaget pendekatan konstruktivisme
mengandung empat kegiatan inti, yaitu:
1) Mengandung pengalaman nyata (Experience)
2) Adanya interaksi sosial (Social
interaction)
3) Terbentuknya kepekaan terhadap
lingkungan (Sense making)
4) Lebih memperhatikan pengetahuan awal (Prior
Knowledge)
Konstruktivisme
merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan kontekstual, yaitu bahwa
pengetahuan dibangun siswa sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas
melalui konteks yang terbatas.
Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta,
konsep, atau kaidah yang siap diambil atau diingat. SIswa harus mengkonstruksikan
pengetahuan tersebut dan memberikan makna melalui pengalaman nyata. Oleh karenanya,
pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi”, bukan menerima
pengetahuan. Siswa memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti
kotak-kotak yang masing-masing berisi informasi bermakna yang berbeda-beda.
Setiap kotak itu akan diisi oleh pengalaman yang dimaknai berbeda-beda oleh
setiap siswa. Setiap pengalaman baru akan dihubungkan dengan kotak yang
sudah berisi pengalaman lama sehingga dapat dikembangkan.
2. Bertanya (Questioning)
Questioning merupakan strategi utama dalam pembelajaran
kontekstual. Kegiatan bertanya digunakan oleh guru untuk menstimulus kemampuan
berpikir siswa agar siswa memaknai pentingnya belajar. Kegiatan bertanya dalam
pembelajaran berguna untuk:
1) Menggali informasi, baik administratif
maupun akademis;
2) Mengecek pengetahuan awal siswa dan
pemahaman siswa;
3) Membangkitkan respon kepada siswa;
4) Mengetahui sejauh mana keingintahuan
siswa;
5) Memfokuskan perhatian siswa pada
sesuatu yang dikehendaki guru;
6) Membangkitkan lebih banyak lagi
pertanyaan dari siswa;
7) Menyegarkan kembali pengetahuan siswa.
3. Menemukan (Inquiry)
Inquiry merupakan bagian inti dari
pembelajaran berbasis CTL. Inkuiri merupakan proses pembelajaran yang didasarkan
pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Melalui
proses berpikir yang sistematis, diharapkan siswa memiliki sikap
ilmiah, rasional, dan logis untuk membentuk kreativitas. Inkuiri dapat
dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu:
1) Merumuskan masalah
2) Mengajukan hipotesis
3) Mengumpulkan data
4) Menguji hipotesis berdasarkan data yang
ditemukan
5) Membuat kesimpulan
4. Pembelajaran Masyarakat (Learning
Community)
Learning Community menekankan hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan
orang lain. Hasil belajar tersebut diperoleh dari diskusi antar siswa. Setiap
elemen masyarakat dapat juga berperan di sini dengan berbagi pengalaman.
5. Pemodelan (Modeling)
Modeling merupakan keterampilan mengoperasikan sesuatu. Peran guru disini
memberi model tentang “bagaimana cara belajar”. Pemodelan melibatkan guru dan
siswa dalam kegiatan pembelajaran. Menurut Bandura dan Walters, pemodelan yang dapat
diamati atau ditiru siswa digolongkan menjadi:
1) Kehidupan yang nyata (real life)
2) Simbolik (symbolic), model yang
dipresentasikan secara lisan, tertulis atau dalam bentuk gambar
3) Representasi (representation),
model yang dipresentasikan dengan menggunakan alat-alat audiovisual, misalnya
televisi dan radio
6. Refleksi (Reflection)
Refleksi merupakan
cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari. Siswa mengendapkan hal tersebut
sebagai struktur pengetahuan yang baru. Struktur pengetahun yang baru ini
merupakan revisi dari pengetahuan sebelumnya. Pada kegiatan pembelajaran,
refleksi dilakukan oleh guru pada akhir pembelajaran.
7. Penilaian yang Sebenarnya (Authentic
Assessment)
Penilaian otentik
merupakan proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran
perkembangan belajar siswa agar guru dapat memastikan apakah siswa telah
mengalami proses belajar yang benar. Karakteristik authentic assessment (Depdiknas
(2003) dilaksanakan selama dan sesudah proses belajar berlangsung, bisa
digunakan untuk tes formatif maupun tes sumatif, mengukur keterampilan dan
sikap dalam belajar, berkesinambungan, terintegrasi, dan dapat digunakan
sebagai feedback.
SUMBER: http://herdy07.wordpress.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar